SALEUM REDAKSI
Banda Aceh: Wangi Kopi Lebih Mengakar daripada Parfum

SEBUAH kota tidak bisa dibentuk dari narasi artifisial. Identitas kota sejatinya tumbuh dari kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi warganya. Dalam konteks ini, gagasan menjadikan Banda Aceh sebagai “Kota Parfum” yang baru di louching oleh Pemerintah kota Banda Aceh terasa ganjil, lebih menyerupai ambisi simbolik ketimbang refleksi dari realitas yang ada.
Peluncuran inisiatif ini belum disertai dengan fondasi yang kuat. Industri parfum di Banda Aceh masih sangat terbatas, bahkan cenderung belum terbentuk secara profesional. Produksi masih berskala kecil dan belum menyentuh pasar yang luas, sementara rantai pasok nilam sebagai bahan baku utama pun belum dikelola secara terpadu. Rasanya terlalu dini untuk membangun branding kota dari sesuatu yang belum memiliki akar yang cukup dalam.
Sebaliknya, Banda Aceh sudah lama dikenal dengan satu ciri khas yang hidup dan tumbuh secara alami: budaya kopinya. Kota ini kerap dijuluki kota sejuta warung kopi. Di setiap sudutnya, kita menemukan kedai kopi yang tak hanya menjadi tempat minum, tapi ruang interaksi, diskusi, bahkan perputaran ekonomi. Setiap tamu dari luar daerah selalu mencari satu hal yang khas dari Banda Aceh—kopinya, bukan parfumnya.
Inilah identitas yang otentik. Budaya kopi di Banda Aceh bukan sekadar kebiasaan, tapi sudah menjadi denyut kehidupan. Kopi Gayo, Kopi Ule Kareng sebagai produk unggulan Aceh, telah dikenal secara global dengan cita rasa dan nilai keberlanjutannya. Kota ini punya semua modal untuk naik kelas menjadi pusat pengembangan kopi nasional, sekaligus simpul peradaban kopi Indonesia.
Gagasan menjadikan Aceh sebagai “Ibu Kota Kopi Indonesia” yang sempat digagas oleh Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) beberapa waktu lalu adalah wacana yang patut dipertimbangkan secara serius. Sebab kali ini, bukan sekadar mimpi, tapi melanjutkan sesuatu yang sudah nyata, hidup, dan terbukti mengakar.
Kita percaya, membangun citra kota tidak cukup dengan menciptakan narasi baru, melainkan dengan memperkuat apa yang sudah menjadi kekuatan. Dan dalam konteks Banda Aceh, wangi kopi jauh lebih membumi dan menjanjikan daripada aroma parfum.
Redaksi

