Connect with us

POLITIK

BRA Dikritik, Anugerah Wartawan Konflik Dinilai Tidak Transparan

Published

on

Acara yang semestinya menjadi bentuk apresiasi, justru dinilai melukai hati para jurnalis yang pernah merasakan langsung pahit getir liputan di masa konflik Aceh. | Foto Ist

ACEHTIMES.CO.ID | BANDA ACEH – Malam penganugerahan Wartawan Konflik Damai Aceh yang digelar Badan Reintegrasi Aceh (BRA) pada Jumat (15/8/2025) di Banda Aceh menuai kritik tajam dari sejumlah wartawan lokal.

Acara yang semestinya menjadi bentuk apresiasi, justru dinilai melukai hati para jurnalis yang pernah merasakan langsung pahit getir liputan di masa konflik Aceh.

Sorotan muncul karena rekam jejak penerima penghargaan dianggap tidak jelas. Beberapa wartawan senior yang berperan penting dalam peliputan konflik bersenjata Aceh (1997–2005) hingga proses perdamaian tidak tercantum dalam daftar penerima. Hal ini memunculkan dugaan adanya praktik pilih kasih dalam proses seleksi.

“Sebenarnya anugerah ini diberikan kepada wartawan yang pernah terjun langsung ke lapangan atau kepada mereka yang tidak merasakan suka duka liputan di masa konflik?” ujar salah seorang jurnalis dengan nada kecewa.

Salah satu kenangan pahit liputan konflik adalah drama pengepungan pasukan GAM oleh TNI di rawa Cot Trieng, serta misi pembebasan Feri Santoro, kamerawan RCTI, yang disandera oleh kelompok GAM pimpinan Ishak Daud di Kota Langsa, Aceh Timur.
“Seingat saya, wartawan termasuk perwakilan ICRC, Munir Noer, dan Nanik Hayati (kini Ketua AJI Jakarta), dijadikan sandera dan tameng oleh GAM menghadapi kepungan TNI. Saat itu kami melakukan aksi mendesak Pangdam menghentikan pengepungan. Waktu itu saya bekerja sebagai freelance untuk Trans TV,” ungkap seorang wartawan yang turut terlibat dalam peristiwa tersebut.

Bagi sebagian jurnalis, penghargaan yang seharusnya menjadi pengakuan atas kontribusi mereka dalam merekam sejarah kelam konflik dan transisi damai Aceh, justru mencederai semangat keadilan dan objektivitas jurnalistik.
“Banyak nama besar yang justru tidak masuk daftar penerima. Kesan yang muncul, penghargaan ini hanya diberikan kepada pihak-pihak yang dekat dengan panitia,” kata salah seorang wartawan lokal dari wilayah Samudra Pase yang enggan disebut namanya.

Salah satu nama yang absen adalah Idris Bendung, wartawan yang sejak 1997 aktif meliput konflik Aceh. Ia memulai karier di harian Sumut Pos (Jawa Pos Group), dan pada 2005 ikut merintis Harian Rakyat Aceh.

Baca Juga
“Saya tidak mempermasalahkan tidak diberi penghargaan. Bagi saya, saat itu tugas wartawan adalah menyampaikan kebenaran tentang kontak senjata, kondisi rakyat, dan fakta di lapangan,” ujar Idris Bendung kepada wartawan di Lhokseumawe.

Meski demikian, Idris menilai ada isu yang lebih penting dari sekadar penghargaan, yakni nasib mantan kombatan GAM dan korban konflik yang hingga kini masih hidup dalam kondisi ekonomi sulit. Ia mendorong Pemerintah Aceh untuk memberi perhatian lebih serius, termasuk menyediakan program beasiswa luar negeri bagi anak-anak eks kombatan.
“Mereka berjuang demi tanah kelahirannya. Setelah 20 tahun damai, sudah saatnya hak mereka diperhatikan,” tegasnya.

Sejumlah kalangan menyerukan agar panitia penganugerahan membuka proses seleksi secara transparan dan inklusif, guna menghindari kesan elitis serta menjaga integritas profesi jurnalistik di mata publik.
Hingga berita ini diturunkan, panitia penyelenggara belum memberikan klarifikasi resmi atas kritik dan dugaan diskriminasi dalam pemberian penghargaan tersebut. | RED -RRI

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *