RAMPOE
Cerita Arif Munandar, Korban Selamat Tsunami Aceh yang Sempat Dikira Telah Meninggal

ACEHTIMES.ID | BANDA ACEH – Arif Munandar (47) warga Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, salah satu dari puluhan ribu orang yang menjadi korban musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam.
Pria yang akrab dengan sapaan Akiong itu selamat dari musibah dasyat itu. Namun anak istri dan orang tua serta keluarganya tidak satupun selamat.
Saat diwawancarai tentang pengalaman dirinya selamat dari tsunami, Arif menceritakan bahwa Dia sempat dimasukan ke dalam kantung mayat.
“Pada saat gempa terjadi saya berkumpul dengan keluarga dan menyelamatkan diri di depan rumah. Namun tidak lama kemudian saya tidak menyangka ada gelombang besar yang datang menerjang rumah-rumah,” kata Arif, Kamis (26/12/2019).
Dia sempat terseret gelombang dan terombang-ambing, namun tadinya dia bersama keluarganya tapi sudah tidak lagi terlihat.
“Pada saat tsunami saya tanpa sadar. 10 menit itu langsung disapu air, dan saya tidak sadar. Baru sadar saya sudah berada di dalam kantung mayat,” ungkap Dirinya.
Dia ternyata sempat dievakuasi oleh masyarakat dan telah dimasukan ke dalam kantung mayat.
“Saat itu mayat-mayat korban tsunami itu dibawa oleh relawan dan masyarakat ke kawasan Darussalam. Saat itu saya pingsan, ada orang yang teriak bahwa mayat hidup, saya dianggap sudah meninggal dunia sehingga sudah dievakuasi ke dalam kantung mayat,” tuturnya.
Kondisi Arif Munandar saat itu dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Di wajah dan bagian tubuhnya terdapat beberapa luka memar karena terkena puing-puing yang terbawa arus gelombang.
“Saat itu saya hanya ada celana, baju saya sudah tidak ada. Wajah saya bengkak, penuh luka-luka. Saat itu saya dikeluarkan dari kantung jenazah lalu saya dimandikan oleh warga,” ujarnya.
Arif saat itu merasakan begitu terpuruk dan terpukul. Dia seolah tidak menerima kenyataan jika dirinya tinggal sebatang kara. Dua anaknya dan istri tidak diketahui keberadaannya.
“Saat itu saya begitu terpukul dan terpuruk. Karena saya kehilangan keluarga saya dan anak istri saya,” ungkap Arif.
Pasca tsunami, hari-harinya hanya bertahan di barak pengungsian bersama ribuan korban selamat lainya. Dia juga terus berusaha mencari keberadaan istri dan anak-anaknya yang ternyata diketahui juga tidak selamat dalam musibah itu.
Arif kemudian ingin mencoba terlibat sebagai relawan untuk membantu korban-korban lainya. “Ya dari pada saya terus bersedih merenung nasib saya dan keluarga saya di barak, lebih baik saya juga ikut membantu evakuasi korban-korban lainya, sambil berharap saya dapat bertemu dengan anak dan istri saya,” kata Arif.
Pasca tsunami, proses evakuasi terus berjalan. Banyak relawan dari dalam maupun luar negeri terus berdatangan untuk memberikan bantuan kepada Aceh. Proses rehab rekon juga terus dilakukan untuk memulihkan kembali kondisi Aceh yang porak-poranda diterjang tsunami.
Lalu Arif bertemu dengan seorang wanita di lokasi barak yang Ia tempati. Wanita tersebut kini telah menjadi istrinya.
“Pertemuan kami, saya dengan istri saya di barak. Nasib kami sama, kami sama-sama kehilangan keluarga. Sehingga kami memutuskan untuk menikah, dan saya dikaruniai dua orang anak yang saat ini sudah duduk di bangku SMP dan SD,” ujarnya.
Menurutnya, tsunami telah mengajarkan banyak pengalaman. Dari bencana itu dia kini terus belajar tentang cara bagaimana menghadapi bencana. Dan ia juga membangun mitigasi bencana kepada anak-anaknya dan istrinya.
Kini, Arif telah mengabdi menjadi pegawai di Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) sebagai teknisi di radio komunikasi.
“Pasca tsunami saya pernah terlibat dalam misi kemanusiaan di Padang, saat itu Padang juga dilanda musibah tsunami pada tahun 2011, saat itu saya menjadi relawan Tagana dari Dinsos,”
“Di sana saya banyak menemukan pelajaran dan pengalaman, kalau tahun 2004 saya menjadi korban, tapi saat itu saya menjadi relawan yang mengevakuasi banyak korban,” sebut Arif.
Kini Arif masih tinggal di desanya yang berada di Kajhu. Alasan dirinya tinggal di daerah yang menjadi bekas tsunami karena tak ada pilihan lain. “Kampung saya di situ, saudara-saudara tinggal di situ. Saya juga tidak ada pilihan lain karena hanya di situ satu-satunya tempat yang bisa saya tempati,” ujarnya.
Meski dia tinggal di daerah rawan bencana, tapi Aris bersama keluarganya terus membangun mitigasi bencana dari hal-hal terkecil.
“Gunanya untuk apa, jadi ketika nanti bencana serupa datang lagi, kami sudah siap, sudah tau apa yang harus kami lakukan, sudah tau kami harus lari ke mana,” pungkas Aris.
Hari ini, Kamis (26/12/2019) Aceh diperingati 15 tahun tsunami. Bencana yang menelan korban jiwa lebih dari 200 ribu orang itu telah membuka mata dunia bahwa pentingnya masyarakat menyadari akan dampak bahaya bencana dan mengetahui resiko dan apa yang harus dilakukan ketika bencana itu terulang. | RRI

