Connect with us

SALEUM REDAKSI

Ingub Shalat Berjamaah, Ujian Serius Keteladanan Pemerintah

Published

on

Namun seperti halnya kebijakan lain, regulasi ini hanya akan bernilai jika diterjemahkan dalam aksi nyata. | Foto ilustrasi by Net

INTRUKSI Gubernur  (Ingub) Aceh Nomor 1 Tahun 2025 tentang pelaksanaan shalat fardhu berjamaah bagi ASN, masyarakat, dan penguatan budaya mengaji di satuan pendidikan, sejatinya bukan hanya sekadar seruan keagamaan biasa. Ini adalah upaya serius meneguhkan kembali jati diri Aceh sebagai Serambi Mekkah yang sesungguhnya.

Namun seperti halnya kebijakan lain, regulasi ini hanya akan bernilai jika diterjemahkan dalam aksi nyata. Saat ini Pemerintah Aceh melalui Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) sedang memfinalkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk memastikan agar pelaksanaan Ingub ini berjalan seragam di seluruh kabupaten/kota.

Hemat kami, Ingub ini harus disertai langkah konkret: sosialisasi masif, pengawasan konsisten, serta penerapan reward and punishment yang jelas. Gerakan ini harus hidup, bukan sekadar menjadi formalitas di ruang-ruang rapat atau lembar pengumuman.

Langkah awalnya sederhana: mulai dari masjid dan musala di kantor-kantor pemerintahan. Setiap kali azan berkumandang, seluruh aktivitas birokrasi sepatutnya berhenti. ASN wajib berdiri dan melangkah ke masjid untuk berjamaah. Jika keteladanan ini lahir dari pemerintah, maka publik pun akan mengikuti.

Menarik membaca tulisan dan gagasan dari Sekretaris Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Aceh, Mahfudz Y. Loethan, dalam rubrik Opini Kupi Beugoh yang terbit di Harian Serambi Indonesia edisi Jum’at, 19 April 2025. Dalam tulisannya, Mahfudz mengajak agar ruang-ruang publik bisa dipenuhi dengan pesan-pesan pengingat shalat, termasuk papan reklame, baliho, maupun media digital. Salah satu kalimat yang ia angkat bahkan sangat mengena di hati:

Hidup ini cuma punya dua waktu: menunggu waktu shalat, dan menunggu waktu dishalati.

Kami sependapat, bahwa pesan-pesan moral seperti ini tidak seharusnya hanya berhenti di media cetak dan daring. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua billboard, baliho, hingga papan LED digital milik pemerintah di seluruh Aceh menjadi sarana sosialisasi yang hidup, mengingatkan masyarakat tentang pentingnya shalat berjamaah setiap waktu.

Baca Juga

Jika semua ruang visual publik diisi dengan pesan kebaikan, diimbangi keteladanan ASN dalam menjalankan shalat berjamaah, dan disertai sistem penghargaan serta sanksi yang adil — maka tidak mustahil Aceh bisa kembali berdiri tegak sebagai cermin pelaksanaan syariat Islam yang bermartabat dan berkelas di mata rakyat dan dunia.

Apabila gerakan ini berjalan dengan baik, Pemerintah Aceh akan mendapat apresiasi besar dari rakyat. Karena shalat berjamaah bukan hanya simbol ibadah, tapi pondasi bagi kejujuran, kedisiplinan, dan karakter masyarakat yang bermartabat.

Kini bola ada di tangan pemerintah: apakah ingin menjadikan instruksi ini hidup di tengah masyarakat atau membiarkannya menjadi  kebijakan yang mati sebelum berkembang?

 

Redaksi

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *