OPINI
Menginap 9 Malam di Rumah Panglima GAM

Acehtimes.id | Banda Aceh – Pagi itu, 14 Agustus 2001, saya, istri dan seorang anak berusia setahunan, menumpang angkutan umum L300 Flamboyan menuju Medan untuk urusan studi. Dari Banda Aceh kami berangkat jam 9.00 pagi.
Selama dalam perjalanan, hati kami was-was, resah, dan gelisah. Saat itu kondisi konflik sedang memanas. Berlaku jam malam. Bahkan beredar info akan ditutup jalan oleh pihak GAM.
Ada swiping di banyak tempat sepanjang perjalanan kami. Banyak bus, truk, dan mobil yang dibakar di sepanjang jalan yang kami lalui. Bahkan saat itu, kami dua kali sempat terjebak kontak tembak antara Tentara GAM dengan TNI. Ngeri sekali.
Saat sampai di Pantonlabu. Terjadi lagi kontak senjata antara GAM yang di seberang sungai dengan pihak RI yang ada di Terminal. Mobil yang kami tumpangi berhenti. Istri saya menggunakan kesempatan tersebut untuk izin ke kamar mandi pada Kantor Polantas Pantonlabu.
Kontak tembak hampir mengenai kami. Saya langsung menarik istri, sambil mengendong anak dan lari kembali ke mobil. Lalu, tancap gas ke arah Timur menuju Medan. Semua penumpang tegang ketakutan.
Tak lama kemudian, sesampai di Idi Cut jalan sudah ditutup oleh pihak GAM. Pohon-pohon di pinggir jalan ditebang. Dijatuhkan ke atas badan jalan. Tanpa pikir panjang saya minta sopir untuk segera mutar kembali ke arah Banda Aceh. Namun sialnya, sesampai di Alue Ie Puteh, kembali kami mendapatkan fakta, jalan diblokade dengan pepohonan yang baru saja ditebang dengan sinso. Dan masih terlihat beberapa tentara GAM memanggul senjata.
Kami bingung harus kemana dan bagaimana. Kali ini, sopir mengambil inisiatif untuk kembali ke Pasar Pantonlabu. Saat itu hari sudah mulai malam dan situasi sangat mencekam.
Alhamdulillah, di kedai kayu pinggir jalan raya Pasar Pantonlabu ada satu keluarga yang berani menerima kami. Padahal jumlah kami 16 orang yang berasal dari dua L300.
Keluarga yang menerima kami adalah keluarga miskin. Pak Agus dan isterinya yang beranak lima, terus terang menyatakan berani menampung kami demi kemanusiaan, tetapi mereka tak punya beras dan sesuatu yang bisa dimakan.
Lalu, saya mengambil inisiatif menghimpun patungan dana untuk makan dari sesama penumpang. Dana terkumpul cukup untuk 3 (tiga) hari makan. Dengan dana yg minim tersebut, lalu isteri Pak Agus (bunda) malam itu juga menyelinap ke kedai tetangga guna membeli beras, telor, minyak, dan sayuran.
Kami semua berkumpul di bahagian belakang rumah kedai kayu Pak Agus, sambil menunggu masak nasi yang ditanak oleh isteri Pak Agus yang dibantu ibu-ibu para penumpang. Alhamdulillah, tengah malam itu, kami masih bisa makan nasi dengan selamat. Kami tidur di lantai semen dengan beralaskan karton bekas.
Ternyata, situasi konflik makin memanas. Kontak tembak makin menjadi-jadi. Kami telah menempati rumah kedai kayu (ukuran 4×10 m) yang beralaskan semen selama 9 (sembilan) hari. Sembilan hari kami sudah menumpang pada keluarga tersebut, yang tidak kami kenal sebelumnya. Masya Allah keluarga ini begitu baik.
Keluarga yang berani menerima kami ini adalah luar biasa, walaupun mereka tidak berpunya. Saya sempat curhat dan malu pada Pak Agus karena telah membebani keluarga ini. Beliau menjawab, “semua ini sudah takdir pak. Tak usah terlalu dipikirkan. Kita jalani saja”.
Saya dan istri penasaran. Siapa sesungguhnya keluarga ini, yang telah berani menerima kami menumpang di rumahnya. Sementara beberapa rumah lain yang sebelumnya kami datangi, semua menolak menerima dengan alasan takut. Itu alasan yang wajar saat itu.
Penasaran tersebut baru terungkap sepuluh tahun kemudian.
Kami tak mungkin melupakan jasa keluarga ini hingga sekarang. Setelah Aceh damai, (15.8.2005) setiap kami ke Medan jika membawa mobil sendiri, kami selalu singgah di rumah Pak Agus.
Setelah sering bertemu dan menjadi akrab baru kami tahu bahwa isteri Pak Agus adalah jandanya Panglima GAM Murehom Daya yang pertama, Abu Tausi. Ini nama gelarnya sedangkan nama aslinya saya tidak tahu. Orang ini adalah adik mamak Mualem. Berarti pamanya Mualem. Sedangkan Pak Agus adalah ajudan Abu Tausi yang lari dan wafat di luar negeri. Dalam pelarian tersebut panglima mewasiatkan Pak Agus agar menjaga isteri dan anak-anaknya. Pantas saja umur Pak Agus dan Bunda jarak sekali. Kesetiaan yang luar biasa dari ajudan.
Pak Agus, sang ajudan panglima sudah berpulang ke Rahmatullah. Sedangkan bunda atau isterinya sudah pindah ke Aceh Besar dan menempati rumah sewa. Waktu baru pindah ke Baitussalam Aceh Besar kami ada beberapa kali ke rumah mereka dan mereka juga ke rumah (2017).
Ternyata saya pernah menumpang menginap di rumah Panglima GAM selama 9 (sembilan) hari sembilan malam.
Saya terenyuh dan prihatin menyaksikan hidup istri pejuang GAM ini. Di Pantonlabu sesudah damai, mereka jual bakso. Lalu bangkrut dan pindah ke Aceh Besar dan jualan pisang goreng.
Mengakhiri catatan kenangan ini. Saya sarankan kepada BRA untuk mencari dan membantu orang-orang seperti ini. Mereka adalah korban konflik dan janda panglima. Otsus dan banyaknya keuangan dan kewenangan Aceh berkat andil perjuangan mereka. Harusnya anggaran BRA dialokasikan untuk mensejahterakan para korban konflik sahaja, bukan dianggarkan bagi horang kayya bermoge.
Dr. Taqwadin, SH., SE., MS

