Connect with us

POLITIK

Pemerintah Aceh Kirim Surat ke Presiden: Minta Blang Padang Dikembalikan Sebagai Tanah Wakaf Masjid Raya

Published

on

Isinya jelas dan lugas: meminta agar Blang Padang, kawasan ruang terbuka yang kini lebih dikenal sebagai tempat jogging dan upacara militer di pusat Banda Aceh, dikembalikan menjadi tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman. | Foto net

ACEHTIMES.CO.ID | BANDA ACEH  – Setelah puluhan tahun statusnya menggantung, Pemerintah Aceh akhirnya mengambil langkah resmi untuk menuntaskan polemik panjang terkait Blang Padang. Sebuah surat bernomor 400.8/7180 tertanggal 17 Juni 2025, ditandatangani langsung oleh Gubernur Muzakir Manaf, telah dikirimkan ke Presiden Prabowo Subianto.

Isinya jelas dan lugas: meminta agar Blang Padang, kawasan ruang terbuka yang kini lebih dikenal sebagai tempat jogging dan upacara militer di pusat Banda Aceh, dikembalikan menjadi tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman.

Alasannya bukan sekadar retorika atau sentimen lokal. Pemerintah Aceh menyusun argumentasi dengan cukup rapi. Dalam surat tersebut, Gubernur menyebutkan bahwa berdasarkan sejarah Kesultanan Aceh dan dokumen kolonial Belanda, Blang Padang sejak awal adalah bagian dari “oemong sara”, istilah yang dalam tradisi Aceh merujuk pada tanah-tanah wakaf yang diperuntukkan bagi kemakmuran dan pemeliharaan masjid.

Nama Sultan Iskandar Muda disebut sebagai sosok yang pertama kali mewakafkan tanah itu. Tak hanya itu, catatan dari K.F.H. Van Langen dalam buku De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat tahun 1888 ikut menjadi referensi hukum sejarah. Dalam buku itu disebutkan, Blang Padang bersama Blang Punge adalah tanah wakaf yang tak boleh dialihkan fungsinya.

Sejumlah peta era kolonial juga menjadi bukti pelengkap. Peta Belanda tahun 1875, Blad Nomor 310 tahun 1906, hingga peta Koetaradja tahun 1915, semuanya mencantumkan Blang Padang sebagai Aloen-Aloen Kesultanan Aceh yang tak pernah masuk wilayah pendudukan militer Belanda, apalagi KNIL.

Namun sejarah bergerak ke arah yang tak selalu sesuai garis lurus. Pasca tsunami 2004, Blang Padang menjadi bagian dari area yang dikelola TNI AD melalui Kodam Iskandar Muda. Kawasan itu tetap terbuka untuk masyarakat, namun status hukumnya berada di bawah kontrol militer.

Di dalam suratnya, Gubernur Aceh menyebut bahwa aspirasi masyarakat, tokoh agama, serta hasil kajian hukum dan sejarah menunjukkan kesimpulan yang sama: Blang Padang secara sah, baik menurut hukum adat maupun hukum Islam, adalah tanah wakaf yang harus dikembalikan ke Masjid Raya Baiturrahman.

“Berdasarkan hasil penelusuran sejarah, kajian yuridis, serta aspirasi masyarakat dan tokoh agama, tanah ini secara hukum Islam dan adat Aceh terbukti sebagai tanah wakaf yang sepatutnya dikelola oleh nazhir Masjid Raya Baiturrahman,” tulis Muzakir Manaf dalam surat tersebut.

Sebagai pembanding, Pemprov Aceh juga menyertakan fakta bahwa Blang Punge—yang dulu diwakafkan bersamaan dengan Blang Padang—kini telah bersertifikat wakaf dan menjadi lokasi rumah imam masjid, lembaga pendidikan agama, serta Radio Baiturrahman.

Di Banda Aceh, kabar tentang surat resmi ini cepat menyebar. Tak hanya di kalangan tokoh agama dan sejarawan, percakapan tentang Blang Padang juga ramai di media sosial. Tagar-tagar seperti #BlangPadangUntukMasjidRaya mulai berseliweran, disertai unggahan foto-foto lawas Blang Padang dengan latar Masjid Raya yang megah.

“Ini bukan cuma soal lapangan kosong di tengah kota. Ini soal marwah, soal sejarah, dan soal hak rakyat Aceh atas warisan yang sudah diamanahkan Sultan,” tulis salah satu akun Twitter dengan ribuan pengikut.

Baca Juga

Bagi sebagian warga Banda Aceh, langkah ini dianggap sebagai momentum mengoreksi sejarah yang sempat terabaikan. Semangatnya bukan anti terhadap TNI atau pemerintah pusat, melainkan lebih kepada menegakkan amanah wakaf yang dalam tradisi Aceh selalu dianggap sakral.

Di bagian akhir suratnya, Gubernur Aceh menutup dengan kalimat yang bernada harap tapi juga cukup tegas:

“Besar harapan kami Bapak Presiden mengabulkan permohonan ini demi keadilan dan ketenteraman di Serambi Mekkah. Atas kebijaksanaan dan bantuan Bapak Presiden, kami sampaikan terima kasih.”

Kini, keputusan ada di tangan Presiden. Sementara itu, warga Aceh terus menunggu, dengan satu harapan sederhana: agar sejarah tak lagi dibiarkan menggantung di lapangan rumput yang sudah terlalu lama menjadi saksi bisu zaman. | RED

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *