HUKUM DAN KRIMINAL
Rancanga Qanun Ketertiban Umum Aceh Larang Teumeunak di Media Sosial, Fenomena yang Dinilai Merusak Moral dan Martabat
ACEHTIMES.CO.ID | BANDA ACEH – Fenomena teumeunak atau penggunaan kata-kata kotor yang marak di media sosial kini menjadi perhatian serius Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Dalam Rancangan Qanun (Raqan) Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat, perilaku tersebut secara tegas dilarang karena dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam dan adat Aceh.
Larangan itu tertuang dalam Pasal 79 Paragraf 24 tentang tertib layanan internet dan media sosial. Setiap pengguna media sosial diwajibkan menggunakan platform secara bijak, santun dalam berkomentar, serta menjaga kehormatan diri dan orang lain.
Sebaliknya, pengguna media sosial dilarang menyebarkan hoaks, cyberbullying, ujaran kebencian, serta mengunggah konten tidak pantas termasuk teumeunak. Fenomena teumeunak yang dimaksud adalah penggunaan kata-kata kasar yang menyebut alat vital manusia, nama-nama binatang, hingga hinaan yang merendahkan martabat orang lain.
Perilaku seperti itu dinilai sangat memalukan dan telah menodai ruang digital Aceh, padahal dalam ajaran Islam, ucapan keji dan merendahkan martabat sesama manusia merupakan perbuatan yang diharamkan.
Belakangan, konten live di media sosial—terutama TikTok- kian dipenuhi aksi yang jauh dari nilai kesopanan. Sejumlah pengguna perempuan tampil tanpa hijab, berjoget dengan gerakan erotis, sementara sebagian laki-laki memperagakan diri layaknya perempuan untuk menarik perhatian penonton.
Fenomena ini tidak hanya mengundang keprihatinan masyarakat, tetapi juga dianggap merusak citra Aceh sebagai daerah yang menjunjung tinggi marwah, akhlak, dan kehormatan.
Raqan tersebut juga memperkuat peran Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) untuk melakukan pemantauan dan penertiban terhadap aktivitas media sosial yang melanggar ketentuan Syariat Islam. Pelanggar akan dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, hingga denda administratif.
Pemerintah Aceh dan DPRA berharap, qanun ini dapat menjadi landasan moral sekaligus hukum dalam menjaga ruang digital agar tetap bersih, beradab, dan mencerminkan keislaman yang rahmatan lil ‘alamin. | Mulyadie





































