SALEUM REDAKSI
Saatnya Aceh Memiliki Pelabuhan yang Bisa Disebut Milik Sendiri

ACEH bukanlah provinsi kecil yang tidak punya peran dalam ekonomi nasional. Di atas tanahnya tumbuh lebih dari 470 ribu hektare perkebunan sawit, menghasilkan lebih dari 1 juta ton crude palm oil (CPO) setiap tahun. Angka yang mestinya cukup membuat Aceh berdiri sejajar dengan provinsi-provinsi industri lainnya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya: lebih dari 90 persen CPO yang diproduksi di Aceh harus meninggalkan provinsi ini lewat pelabuhan milik daerah lain. Sekitar 930 ribu ton CPO diangkut setiap tahun sejauh ±600 kilometer ke pelabuhan ekspor di Sumatra Utara. Ini bukan hanya tidak efisien—ini adalah ketidakadilan logistik yang dibiarkan bertahun-tahun.
Setiap ton CPO yang menempuh perjalanan jauh itu berarti satu kesempatan ekonomi yang hilang. Satu potensi pekerjaan yang tak pernah tercipta. Satu titik nilai tambah yang bocor keluar dari provinsi. Total kerugian ekonomi akibat biaya logistik saja mencapai Rp 372 miliar per tahun. Ini belum termasuk bea keluar, dana bagi hasil, dan peluang hilirisasi yang gagal diwujudkan.
Yang paling merasakan dampaknya adalah petani sawit. Mereka bekerja keras dari subuh hingga senja, namun harus menerima harga tandan buah segar (TBS) yang rendah karena tekanan biaya distribusi. Padahal, jika Aceh memiliki pelabuhan ekspor yang memadai, harga TBS bisa naik signifikan—Rp 100 hingga Rp 150 per kilogram. Bagi 180 ribu keluarga petani, selisih ini bisa menentukan apakah anak mereka bisa sekolah lebih tinggi, atau apakah rumah mereka bisa direnovasi setelah bertahun-tahun lapuk dimakan waktu.
Pemerintah tidak tinggal diam. Rencana modernisasi Pelabuhan Krueng Geukuh telah masuk dalam kajian skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dibutuhkan investasi Rp 700 miliar untuk membangun tangki penyimpanan, loading arm, hingga pendalaman alur pelayaran. Sebuah proyek strategis yang dapat menghasilkan PAD Rp 40 miliar per tahun dan menciptakan pusat hilirisasi baru: biodiesel, oleokimia, minyak goreng, dan lebih dari itu—harga diri.
Karena pelabuhan bukan hanya tempat kapal bersandar. Pelabuhan adalah simbol dari kedaulatan ekonomi. Tempat di mana hasil bumi tidak hanya dikirim, tapi juga diolah. Tempat di mana anak-anak muda tidak hanya jadi penonton, tapi bisa jadi pelaku industri. Tempat di mana Aceh tak lagi hanya jadi “pengantar” bahan mentah, melainkan jadi rumah bagi nilai tambah.
Setiap provinsi maju di Indonesia hari ini punya satu kesamaan: infrastruktur logistik yang kuat. Maka jika Aceh ingin naik kelas, ingin keluar dari ketergantungan, ingin memastikan hasil buminya membawa kesejahteraan untuk rakyatnya sendiri, maka tidak ada pilihan lain—pelabuhan ekspor harus dibangun sekarang, bukan nanti.
Kita tak butuh lebih banyak seminar, rapat, atau studi banding. Kita butuh keberanian. Keputusan. Dan komitmen. Karena masa depan tak dibentuk oleh wacana, tetapi oleh keberanian untuk mengambil langkah pertama.
Dan langkah pertama itu adalah membangun pelabuhan yang benar-benar bisa kita sebut sebagai milik kita sendiri.
Redaksi

