ACEH MEMILIH
Skandal Pileg Terkuak, Ketua KIP Banda Aceh Jadi Mesin Penggelembung Suara untuk Gufran dan Sofyan Dawod
ACEHTIMES.CO.ID | BANDA ACEH — Ledakan skandal politik kembali mengguncang Aceh. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) resmi memecat Yusri Razali dari jabatannya sebagai Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Banda Aceh.
Putusan itu dibacakan di Jakarta pada Rabu, (3/9/2025), dan membuka borok praktik kotor yang selama ini diduga terjadi di balik pesta demokrasi.
Yusri tidak sekadar melanggar etika, tetapi terbukti menjadi arsitek manipulasi suara dalam Pemilu 2024. Instruksi langsungnya kepada Ketua PPK Syiah Kuala dan Ketua PPK Kutaraja menggariskan penggelembungan suara secara sistematis untuk menguntungkan dua politisi nasional, yakni Ghufran ZA, anggota DPR RI Fraksi PKS, dan Sofyan Dawood, politisi PDIP.
Modusnya terang-benderang. Suara Partai PKS dialihkan untuk melambungkan perolehan Ghufran caleg DPR RI Dapil Aceh I nomor urut 01.
Sementara suara tidak sah yang seharusnya gugur, diperintahkan ditambahkan ke kantong suara Sofyan Dawood, caleg nomor urut 01 PDIP.
“DKPP memutuskan menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan ketua kepada teradu I, Yusri Razali, selaku Ketua merangkap anggota KIP Kota Banda Aceh terhitung sejak putusan ini dibacakan,” tegas Ketua DKPP Heddy Lugito dalam putusan perkara Nomor 158-PKE-DKPP/VI/2025.
Skandal ini ternyata tak berhenti pada Yusri. Anggota KIP Banda Aceh, Saiful Haris, ikut tercatat mengetahui perintah manipulasi suara namun memilih bungkam. DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras, meski ia masih dipertahankan di kursinya.
Sementara dua anggota lainnya, Muhammad Zar dan Rachmat Hidayat, dinyatakan bersih dari tuduhan.
Putusan DKPP ini sekaligus menyingkap fakta pahit: kecurangan Pemilu 2024 di Aceh bukan sekadar rumor, melainkan praktik yang terstruktur dan sistematis. Meski DKPP tidak berwenang menyentuh langsung para caleg penerima keuntungan, temuan ini membuka pintu proses hukum lanjutan yang bisa mengguncang kursi kekuasaan.
Pertanyaan kini bergulir tajam, apa langkah KPU dan Bawaslu setelah aib besar ini terbongkar? Mampukah mereka memulihkan kepercayaan publik terhadap integritas demokrasi?
Skandal Banda Aceh ini bukan hanya menampar wajah demokrasi Aceh, melainkan juga memperlihatkan betapa rapuhnya sistem pemilu ketika penyelenggaranya justru bersekutu dengan elite politik untuk menggadaikan suara rakyat. (Ics)































